ASPEK BIOETIKA DALAM TERAPI STEM CELL UNTUK PENDERITA AUTISME
Oleh : Syaepul Firdaus
Autisme merupakan gangguan perkembangan saraf pada anak yang ditandai keterlambatan dalam bicara, kognitif, perilaku, dan interaksi sosial. Gejala ini dapat diamati pada anak usia 2-3 tahun. Tipe-tipe gangguan autisme bervariasi pada setiap individu, oleh sebab itu disebut spektrum autisme atau Autistic Spectrum Disorder (ASD) (Freitag, 2007). Kategori yang termasuk dalam spektrum autisme yaitu Autisme, Rett syndrome, Asperger, Childhood Disintegrative Disorder (CDD), dan Pervasive Development Disorder Not Otherwise Specified (PDD-NOS) (NEA, 2006). Autisme sendiri dikelompokkan menjadi Low Functioning Autism (LFA), Middle Functioning Autism (MFA) dan High Functioning Autism (HFA) (Pusponegoro & Solek, 2007) berdasarkan tes kecerdasan (IQ), masing-masing kelompok berturut-turut memiliki nilai IQ:<50, 50-70, dan >70.
Istilah autisme diambil dari bahasa Yunani yaitu Auto yang berarti sendiri dan digunakan pada penyandang mulai tahun 1943 oleh Leo Kanner, seorang dokter dari Johns Hopkins University (Manzi et al., 2005). Data tahun 2009 menunjukkan jumlah penderita autisme di dunia meningkat, misalnya ditemukan satu di antara 150 anak-anak penyandang autisme di Amerika (Science Daily, 2009). Di Inggris di antara 1000 anak ditemukan sebanyak 90 anak penyandang autisme (Campbell, 2009). Tingginya angka penyandang autisme dari beberapa Negara salah satu faktor penyebabnya, disebabkan oleh majunya metode cara diagnosis dan kemajuan tekhnologi, sehingga dapat mendiagnosis dengan tingkat presisi yang tinggi, tingginya kesadaran sosial, perubahan kategori diagnosis seperti retardasi mental dan schizoprenia saat ini dikategorikan sebagai autisme dan kesalahan dalam diagnosis. Gangguan perkembangan syaraf dapat dijumpai pada bagian-bagian otak anak autistik, perkembangan yang berbeda dapat dijumpai di amygdala (respon emosi dan perilaku agresif), korpus collosum (komunikasi), dan cerebellum (kemampuan bicara, motorik, koordinasi dan pergerakan), korteks prefrontal (reaksi perilaku, pergerakan, dan fungsi mental) (Possey, 2008). Selain itu, ditemukan juga tingginya produksi neurotransmiter serotonin (Devlin, 2005) dan dopamin (Dawson, 2005) pada sel saraf di otak anak autistik dibandingkan dengan anak normal. Banyaknya bagian-bagian otak yang terganggu akan berpengaruh terhadap kompleksitas autisme yang juga akan menentukan tingkat kecerdasan. Terapi autisme dapat dibagi menjadi terapi perilaku, sensori integrasi, terapi bicara, terapi nutrisi dan pendekatan medis. Penggunaan metode terapi satu dipadukan dengan metode lainnya, sehingga umumnya digunakan lebih dari satu metode untuk penanganan. Misalnya metode terapi perilaku juga mencakup terapi sensori integrasi dan medis. Terapi lain yang relatif baru dan telah berhasil dilakukan yaitu metode stem cell dari tali pusar bayi dengan nama CD34+ (Icim et al., 2007). Terapi gen juga akhir-akhir ini mulai diaplikasikan untuk autisme tetapi belum ada publikasi yang menyatakan keberhasilan terapi ini.
Penemuan kelainan pada sel-sel otak penyandang autisme membuka peluang bagi stem cell sebagai salah satu metode terapi. Keunggulan stem cell terletak pada sifat pluripoten sel yang mampu berdiferensiasi, memperbaharui diri, dan mereproduksi diri secara kontinyu. Sifat pluripoten sel dimanfaatkan untuk melakukan diferensiasi sesuai dengan sel target. Pengertian stem cell dapat dibedakan menjadi stem cell embrionik dan non embrionik. Stem cell embrionik umumnya diambil dari tahap blastosis sedangkan stem cell non embrionik didapatkan dari jaringan dewasa. Asal stem cell yang berbeda masing-masing memiliki keunggulan dan kekurangan. Sel yang berasal dari jarigan mesenkim (Icim et al., 2007) embrio lebih diprioritaskan karena memiliki daya plastisitas, namun ada reaksi penolakan dari sistem imun tubuh.
Kelebihan stem cell dewasa (adult stem cell) yang tidak memiliki resiko resistensi terhadap sistem imun tubuh sebab dari sel-sel yang sama dengan sel yang akan digantikan, namun hanya mampu menghasilkan satu tipe sel (totipoten). Stem cell dewasa dari darah tali pusar bayi yang baru lahir berpotensi hampir sama dengan stem cell embrionik (Fischbach & Fischbach, 2004). Bisa juga stem cell dewasa (adult stem cell) yang bersumber dari sum-sum tulang belakang. Teknik mendapatkan stem cell embrionik dapat dilakukan dengan cara, pertama membuat embrio dari sperma dan oosit dalam proses fertilisasi in vitro (FIV) dan yang kedua terapi kloning. Teknik lain yaitu menggabungkan sebuah sel dewasa sel target dengan sel oosit. Nukleus dari oosit dihilangkan dan diganti dengan nukleus dari stem cell dewasa. Oosit kemudian dirangsang untuk membelah dengan menggunakan zat kimia atau kejutan listrik. Embrio yang dihasilkan akan membawa materi genetis dari sel target. Hal ini dilakukan untuk mengurangi resistensi dari sistem imun.
Metode stem cell masih banyak mengundang perdebatan terutama terkait dengan etika. Proses pengambilan pada stem cell embrionik dari dalam tubuh yang akan lebih mudah dilakukan melalui vagina. Hal ini menjadi perdebatan ketika siapa yang berhak mengambil dan apakah ada perlindungan terhadap hak-hak wanita yang embrionya diambil. Pada stem cell embrionik dari FIV, diferensiasi sel belum dapat secara pasti diarahkan dan bagaimana mengendalikannya setelah diinjeksikan. Proses membuat dan mematikan embrio dianggap menyalahi etika karena kehidupan telah dimulai sesaat setelah fertilisasi terjadi dan embrio juga sudah memiliki status sebagai manusia (Saniei & de Vries, 2008). Embrio pada tahap awal sampai tahap blastosis boleh digunakan untuk alasan kesehatan dan kontribusi pada ilmu pengetahuan.
Pendapat lain menyatakan bahwa embrio tidak memerlukan perhatian khusus dari sisi moral (Fischbach & Fischbach, 2004). Aborsi yang dilakukan pada tingkat sel sangat diperlukan ketika faktor keselamatan organ dan individu sangat urgensi. Embrio dari tahap blastosis belum memiliki sel-sel saraf jadi belum ada kemampuan untuk mendeteksi dan legal digunakan untuk tujuan kesehatan. Perdebatan tentang etika juga terjadi pada stem cell yang diambil dari tali pusar orang lain. Sel-sel yang akan ditransfer juga membawa gen yang memiliki kelainan genetis walaupun terekspresi pada generasi berikutnya.
Terapi stem cell untuk anak autisme yang telah berhasil dilakukan untuk memperbaiki ketidaknormalan dalam sirkulasi sistem saraf pusat yaitu kerusakan hypoferpusi basal (Icim et al., 2007) yang berkontribusi pada akumulasi neurotransmiter dan hypoksia atau sel-sel yang mati pada sel-sel saraf pusat. Pada autisme juga ditemukan abnormalitas imun yang dapat dideteksi pada saraf pusat dan tepi. Terapi stem cell dewasa yang berasal dari tali pusar untuk anak autistik telah dilakukan (Icim et al., 2007). Keberhasilan ini sangat ditentukan jika asal stem cell sama dengan sel target, sehingga dapat meminimalisir penolakan reaksi imunitas.
Perbedaan pandangan terhadap terapi autisme terjadi karena perbedaan dalam area penelitian, misalnya ahli psikologi melihat sampai ke tingkah laku. Ahli psikologi percaya selama masih dapat dilakukan terapi berdasarkan faktor-faktor kejiwaan, terapi stem cell tidak perlu diaplikasikan untuk anak autis. Anak autistik yang termasuk dalam HFA memiliki harapan untuk hidup mandiri dan sukses dalam bekerja, jadi terapinya dapat berupa terapi perilaku dan sensori integrasi saja.
Terapi stem cell untuk anak autis dilakukan terhadap anak yang masuk dalam kategori LFA dan MFA yang memerlukan bantuan untuk hidup mandiri dan kemungkinan tidak dapat memasuki dunia kerja. Upaya screening prenatal akan dilakukan orang tua yang telah memiliki anak autistik kategori LFA dan MFA untuk anak berikutnya. Aspek etika yang dapat muncul pada terapi stem cell untuk anak autistik juga mencakup asal stem cell. Jika stem cell yang didapatkan melalui terapi kloning maka akan ada proses mematikan oosit. Jika sel yang ditransfer membawa gen yang memiliki kelainan genetis, hal ini akan sama dengan mentranfer kelainan genetis baru. Jika pengambilan stem cell dewasa dari tubuhnya sendiri, harus melihat kode etik penelitian manusia dan hukum perlindungan anak.
Stem cell merupakan sumber kreativitas manusia dan memiliki kontribusi terhadap ilmu pengetahuan, kita tetap patut mempertimbangkan aplikasinya untuk tujuan mulia. Jika kita setuju dengan adanya hak hidup embrio yang sama dengan manusia, maka stem cell tidak perlu dilakukan untuk terapi autisme. Kehadiran individu autistik ditengah-tengah kita memberi ”warna” pada keragaman populasi manusia. Kearifan dan kesabaran kita saat ini sedang dituntut sambil menunggu kepastian apa penyebab sesungguhnya autisme.
Stem cell dapat diaplikasikan pada individu autistik bergantung pada kategori autisme atau kompleksitas penyandang. Perdebatan tentang aspek bioetika dimulai ketika mendefinisikan kapan kehidupan dimulai. Urgensi dan tujuan terapi stem cell untuk autisme menjadi prioritas utama untuk mengurangi pertentangan bioetika.
Pada dasarnya secanggih apapun dan semaju apapun teknologi yang di kembangkan manusia, ada teknologi yang manusia belum bisa dan hanya Tuhan yang Maha Sempurna. Tinggal kita menyikapinya saja bagaimana etika yang telah di ajarkan kepada masing-masing keyakinan. Karena hanya Tuhan yang bisa menciptakaan sempurna seperti manusia harapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Butler, M.G., Z. Talebizadeh. 2006. Genetics of autism with emphasis on affected
Campbell, D. 2009. Scientists find genetics clues to how autism can develop. The Guardian. 29 April 2009.
Dawson, G., S. J.Webb, E.Wijsman, G. Schellenberg, A. Estes, J. Munson, et al.
2005. Neurocognitive and electrophysiological evidence of altered face processing in parents of children with autism: Implications for a model of abnormal development of social brain circuity in autism. Development and Psychopathology 17: 679–697.
Devlin, B., E. H.Cook Jr, H.Coon, G.Dawson, E. L Grigorenko, W. McMahon, et
al. (2005). Autism and the serotonin transporter: The long and the short of it. Molecular Psychiatry 10:1110–1116.
Eichler, E.E, A.W. Zimmerman. 2008. A hot spot of genetic instability in autism.
The New England Journal of Medicine 358 (7):737-739.
Embree, J. 2004. Immunization and autism links: Ethics in research. Canadian
Journal of Infection Diseases 15 (2):73-74.
Fischbach, G.D., R.L. Fischbach. 2004. Stem cells: Science, policy, and ethics.
The Journal of Clinical Investigation 114 (10):13641370.
Manzi, B., M.C. Porfirio, S. Pennacchia, C. Galasso, P. Curatolo. 2005. Molecular
Genetics of autism. International Journal of Child Neuropsychiatry 2 (2):
103-109.
Muhle, R., V. Stephanie, Trentacoste, I.Rapin. 2004. The Genetics of autism.
Pediatrics 113 (5): 472-486.
National Education Association. 2006. The Puzzle of Autism. Washington: NEA.
44 hlm.
National Health and Medical Research Council. 1999. Guidelines for Ethical
Review of Research Proposals for Human Somatic Cell Gene Therapy and
Related Therapies. Australia: NHMRC. hlm 7-20.
Possey, D.J, K.A Stigler, C.A. Erickson, C.J McDougle. 2008. Antipsychotics in
the treatment of autism. The Journal of Clinical Investigation 118 (1): 6-14.
Pusponegoro, H.D., P. Solek.. 2007. Apakah Anak Kita Autisme? Bandung: Tri
Karsa Multi Media. hlm 3-7.
Saniei, M., R. de Vries. 2008. Monotheistic religion perspectives on embrionic
stem cell research. Eubios Journal of Asian and International Bioethics 18:
46-52.
ScienceDaily. 2009. New theory of autism suggests symptoms or disorder may be
reversible. 2 April 2009.
Swanberg, S.E, R.P.Nagarajan, S.Peddada, D.H.Yasui, J.M. LaSalle. 2009.
Reciprocal co-regulation of EGR2 and MECP2 is disrupted in Rett
syndrome and autism. Human Molecular Genetics 18(3):525-534.
Yayasan Autisme Indonesia. 2008. Apa yang perlu kita ketahui tentang autism.
Yayasan Autisme Indonesia : Jakarta.